3 Jun 2009

HIDUP BAHAGIA PENUH BERKAH

Apakah manusia modern kurang bahagia? Makin banyak orang mungkin akan menjawabnya dengan “ya.” Indikasinya berlimpah. Tingkat penyakit-penyakit yang terkait dengan stress tampaknya terus meningkat, antara lain, sakit jantung, stroke, depresi, dan susah tidur (insomnia). Bukan hanya itu, penyakit-penyakit tersebut makin belakangan cenderung menyerang orang-orang yang berusia lebih muda. Dunia kedokteran pun belakangan makin merasakan bahwa porsi terbesar dari orang-orang yang sakit mendapatkan penyakitnya akibat tekanan mental, psikosomatis. Belum lagi jika kita lihat terus bertambahnya tingkat penggunaan obat-obat penenang dan obat tidur—untuk tak menyebut obat-obatan terlarang -- tingkat perceraian dan keluarga broken home, serta jumlah kejadian bunuh diri, dan sebagainya. Semuanya itu tak diragukan lagi merupakan indikasi bahwa manusia modern memang kurang bahagia.
Gejala yang disebutkan di atas, barangkali hanyalah sebagian dari efek samping gaya hidup modern. Sebuah gaya hidup yang, meski tak teringkari telah membawa kemajuan-kemajuan sains dan materi yang sangat berarti, telah pula mencerabut manusia dari akar eksistensinya, yakni relung (ruhani) terdalam yang merupakan pusat kebahagiaannya. Dengan kata lain, manusia modern mengalami kekosongan spiritual. Persis seperti dikatakan William James, filosof dan ahli psikologi terkemuka Amerika Serikat awal abad 20 : ”(Betapa pun zaman menyeret manusia ke arah yang berbeda) ... akan lebih banyak orang yang berdoa. Karena sesungguhnya manusia tak akan pernah merasa bahagia jika belum berkawan dengan The Great Socius (Kawan Yang Agung).” Dan Si Kawan Yang Agung itu bukan lain adalah Tuhan.
Tapi, bukan itu saja. Boleh jadi kebahagiaan itu (pada puncaknya) bersifat spiritual, namun tak jarang juga ia berkait erat dengan sikap hidup, kebiasaan-kebiasaan (habit), bahkan juga dengan gaya hidup yang bersifat fisikal/jasmaniah.
Akhirnya, kebahagiaan juga amat ditentukan oleh keberhasilan menaklukkan egoisme dan semangat memberi kepada orang lain. Seperti dikatakan oleh Leo Tolstoy, egoisme bertanggung jawab atas kegagalan manusia mencari kebahagiaan. “Banyak orang mengira kebahagiaan bisa dimakan sendiri, padahal kebahagiaan terletak pada kebersamaan.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar